SEMANIS AIR TEBU
Cerpen Angga Mardian
Sebelas tahun setelah
kepindahanku ke kota, akhirnya aku bisa punya waktu untuk pulang ke desa
Jati. Desa tempatku tumbuh semasa kecil. Setelah sampai di terminal,
aku bermaksud mencari ojek. Saat aku berjalan, seorang laki-laki
bertubuh kekar mengikutiku dari arah belakang. Merasa tidak nyaman,
kupercepat langkah kakiku. Aku berlari kearah sebuah kompleks perumahan
yang tak jauh dari situ, dimana ada sekelompok orang duduk-duduk. Lelaki
itu tetap mengikutiku, dia mendekatiku dan mengejarku. Sontak akupun
meneriakinya rampok, lelaki itu langsung dirubung massa dan akupun
melarikan diri.
Sampai di perbatasan desa, aku menyewa delman untuk mengantarku ke rumah lamaku. Udara sejuk pedesaan membuat hatiku tentram. Melihat para petani yang sedang panen, mengingatkan aku pada Rahmat, teman masa kecilku. Sejenak aku teringat kenangan, dimana setiap aku bersedih, Rahmat selalu datang memberikanku sebatang tebu yang telah dipotongnya dan berkata “kuharap air tebu yang manis ini bisa mengembalikan senyum manismu Aya”, sambil menyodorkan tebu kearahku. Dialah alasan mengapa aku pulang ke desa, karna aku merindukan Rahmat.
“kamu siapa cu?”,tanya nenekku.
“saya Cahaya nek, Aya.”,jawabku. Nenek sedikit bingung, namun akhirnya beliau ingat juga. Maklum, karena saat usiaku 9 tahun, keluargaku pindah ke kota. Nenekku tinggal bersama kakek, kehidupan mereka sangat rukun dan harmonis. Walau kini kakek dan nenek berusia 75 dan 68 tahun, tapi semangat mereka tetap seperti saat muda. Membuatku terkagum-kagum. Keesokan harinya aku pergi ke rumah Rahmat, kulihat sepasang ayunan ban karet bergantungan didepan rumahnya. Sekejap saja, terbayang saat aku dan Rahmat bermain ayunan dengan begitu ceria. Bayangan masa lalu yang indah.
Sampai di perbatasan desa, aku menyewa delman untuk mengantarku ke rumah lamaku. Udara sejuk pedesaan membuat hatiku tentram. Melihat para petani yang sedang panen, mengingatkan aku pada Rahmat, teman masa kecilku. Sejenak aku teringat kenangan, dimana setiap aku bersedih, Rahmat selalu datang memberikanku sebatang tebu yang telah dipotongnya dan berkata “kuharap air tebu yang manis ini bisa mengembalikan senyum manismu Aya”, sambil menyodorkan tebu kearahku. Dialah alasan mengapa aku pulang ke desa, karna aku merindukan Rahmat.
“kamu siapa cu?”,tanya nenekku.
“saya Cahaya nek, Aya.”,jawabku. Nenek sedikit bingung, namun akhirnya beliau ingat juga. Maklum, karena saat usiaku 9 tahun, keluargaku pindah ke kota. Nenekku tinggal bersama kakek, kehidupan mereka sangat rukun dan harmonis. Walau kini kakek dan nenek berusia 75 dan 68 tahun, tapi semangat mereka tetap seperti saat muda. Membuatku terkagum-kagum. Keesokan harinya aku pergi ke rumah Rahmat, kulihat sepasang ayunan ban karet bergantungan didepan rumahnya. Sekejap saja, terbayang saat aku dan Rahmat bermain ayunan dengan begitu ceria. Bayangan masa lalu yang indah.
“cari siapa dek?”, tanya seorang ibu-ibu.
“bude Narsih, Rahmat nya ada?”, tanyaku balik. bude Narsih mulai terlihat bingung.
“ah, adek siapa ya?”, tanya bude Narsih.
“saya Aya, teman kecil Rahmat”, jawabku.
“Cahaya?, ya Allah, kamu sudah besar nak? Ya Allah Cantiknya, bude sampek lupa, ayo masuk”,kata bude sembari menarik tanganku. Suasana rumah Rahmat tidak jauh berbeda dengan 11 tahun lalu, tetap bersih dan sejuk. Aku dan bude Narsih pun berbincang-bincang sebentar. Bude narsih menceritakan tentang Rahmat kepadaku, sungguh lucu dan menggemaskan.
“waktu SMP tuh ya, si Rahmat nggak mau disunat. Nah suatu hari waktu dia main bola, dia pecahin kaca rumah pak RT, habis itu pakde marah besar. Si Rahmat langsung dibawa ke dokter, disunatin , mau nggak mau dia harus nurut sama pakde”,kenang bude Narsih. Aku tertawa keras mendengar cerita-cerita Rahmat, lucu sekali.
“terus sekarang Rahmat kemana bude?”,tanyaku. Bude Narsih berhenti tertawa dan memberitahuku tentang kepergiannya.
“dari kemarin, si Rahmat belum pulang. Katanya, dia mau menemui cinta sejatinya”,jawab bude Narsih. Mendengarnya, hatiku ini bagai dihujam jarum yang tajam dari segala arah. Aku pun langsung permisi untuk pergi kesawah.
No comments:
Post a Comment