Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap
Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap, Alhamdulillah, Bulan Ramadhan hampir berlalu. Dan sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan, Ummat Islam merayakannya pada tanggal 1 Syawal sebagai hari berbuka. Pada hari tersebut dilakukan salah satu syiar Islam yang utama, yakni Shalat ‘Idul Fithri. Berikut ini adalah panduan singkat yang kami nukil dari berbagai sumber mengenai shalat tersebut.
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum Shalat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukmin.
Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat Shalat ‘Id (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“ (HR Muslim)
Di antara alasan wajibnya Shalat ‘Id dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khan (murid Asy Syaukani) dalam Ar Raudhatun Nadiyah Syarh Ad Durarul Bahiyyah:
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan Shalat ‘Id. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan Shalat ‘Id itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya Shalat ‘Id yaitu firman Allah Ta’ala, “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan Shalat ‘Idul Adha.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan Shalat ‘Id jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan Shalat ‘Id. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khan yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum Shalat ‘Id adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum Shalat ‘Id adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan Shalat ‘Id. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan Shalat ‘Id. Shalat ‘Id adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan Shalat ‘Id, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu Shalat ‘Id dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.
Tempat pelaksanaan Shalat ‘Id lebih utama (lebih afdhal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan, “Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa Shalat ‘Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam Shalat ‘Id mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Beberapa Tuntunan Saat Keluar untuk Shalat
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.” Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.” Ketiga: Makan sebelum keluar menuju Shalat ‘Id khusus untuk shalat ‘Idul Fithri. Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat Shalat ‘Id pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari Shalat ‘Id baru beliau menyantap hasil qurbannya.” Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah Shalat ‘Id. Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak Shalat ‘Id. Dalam suatu riwayat disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat Shalat ‘Id (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).” Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat Shalat ‘Id. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman. Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri Shalat ‘Id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab, “Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.” Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Shalat ‘Id, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.” Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat Shalat ‘Id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“ Dalam pelaksanaannya, tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudah Shalat ‘Id, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan Shalat ‘Id dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“ (HR Bukhari – Muslim) Juga tidak perlu adzan dan iqamah, dari Jabir bin Samuroh, ia berkata, “Aku pernah melaksanakan Shalat ‘Id (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah.” (HR Muslim) Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan Shalat ‘Id tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”
Niat Shalat Ied Idul Fitri
Niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati, yang terpenting adalah niat hanya semata karena Allah Ta'ala semata dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan Ridho Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras sehingga mengganggu Muslim lainnya, memang ada beberapa pendapat tentang niat ini gunakanlah dengan hikmah bijaksana.
Bahasa Arab:
"Ushalli sunnatal li'iidil fitri rak'ataini (imamam/makmumam) lillahita'aalaa"
Artinya dalam Bahasa Indonesia:
"Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah Ta'ala"
Waktu dan Tata Cara Pelaksanaan Shalat Ied
Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Tata caranya adalah sebagai berikut:
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Bacaan setiap sesudah takbir:
Bahasa Arab:
Subhaanallaah wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar.
Arti dalam Bahasa Indonesia:
"Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah itu Maha Besar"
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku', sebagaimana dijelaskan oleh 'Aisyah dalam riwayatnya: "Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku'." [6]
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca.
Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama: "Sabbihisma" (Surat Al-A'la), dan pada rakaat yang kedua "Hal ataaka" (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar [7]
Syarat Rukun dan Sunnatnya Shalat Idul Fitri
Sama seperti ibadah shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :
- Berjamaah
- Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
- Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
- Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
- Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
- Imam menyaringkan bacaannya.
- Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at
- Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum – hukum Qurban.
- Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
- Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya
Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘Id seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah Shalat ‘Id, “Taqabbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, ‘Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya.’”
“Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Demikian pemaparan singkat mengenai Shalat ‘Idul Fithri, semoga Ramadhan kita semakin bermakna dan amalan ibadah kita diterima Allah Azza wa Jalla.
Hukum Shalat ‘Ied Wajib Atau Sunnah
Fiqhislam.com - Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat ‘Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Beliau menjawab :
Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :
Hukum sholat hari rayakewajiban shalat lengkap dengan dalilshalat jumat termsuk shalat wajib atau sunahdalil tentang kewajiban qiyaspengertian fardhu kifayah pada khutbahdasar hukum shalat idul fitriwanita sunah sholat jumatHADITS sholat idhadist wanita sholat iedtentang hukum solat idulfitrihukum sholat idul fitrihukum shalat idul fitri
Shalat ‘Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur Ulama.
Fardhu Kifayah, artinya dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat ‘Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
Fardhu ‘Ain , artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
DALIL-DALIL
Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
Artinya : Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam . Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja . Beliau melanjutkan sabdanya : Kemudian kewajiban berpuasa Ramadhan . Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab : Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja . Perawi mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya : Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja . Perawi mengatakan, Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar .
Mereka mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib ‘Ain . Dua shalat ‘Ied termasuk ke dalam keumuman ini . Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam Al-Ausath IV/252 .
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat ‘Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat ‘Ied juga merupakan syi’ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah . .
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits Badui Arab dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.
Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan wajib ‘Ain . Beliau pun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat ‘Ied di padang pasir bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat ‘Ied termasuk jenis shalat Jum’at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat ‘Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum’at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ , sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa’.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali Radhiyallahu Anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat ‘Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib .
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa : Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab , beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya . .
Padahal dalam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka .
Juga bahwa shalat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat ‘Ied . Shalat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih . Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk melaksanakan shalat ‘Ied, memerintahkan keluar menuju shalat ‘Ied. Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam shalat ‘ied ditinggalkan, sedangkan shalat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi :
Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk-Nya .
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua. .
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah menambahkan bahwa apabila ‘Ied dan Jum’at bertemu, maka ‘Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Padahal shalat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. .
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
Hadist Badui Arab inipun masih bisa dibantah keterangan umum pada hadits itu telah dikhususkan dengan shalat nadzar, yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar . Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban shalat ‘Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakan shalat , maka apalagi shalat yang kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan sendiri.
Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat :
Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah . .
Atau bahwa shalat ‘Ied merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied hukumnya Wajib ‘Ain .
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat ‘Ied, adalah karena :
Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at, sehingga apalagi shalat ‘Ied.
Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu masalah kewajiban shalat dalam sehari dan semalam . Padahal shalat ‘Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. .
Mereka keluar menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat-tempat pemukiman.
Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan shalat ‘Ied , dan telah menghentikan segala kesibukan lain , berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu ‘alam.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan : Siapa yang berpendapat shalat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan shalat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat ‘Ied ini berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya . .
Imam Shana’ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa shalat ‘Ied adalah WAJIB ‘AIN. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.
Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur ahli ilmu , namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan hukumnya Wajib ‘Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.
Begitulah kiranya sikap adil . Wallahu a’lam
TAKBIR PADA SAAT ‘IED KERAS-KERAS ATAU PELAN-PELAN ?
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa as-Sulaimani ditanya :
Apakah seseorang yang pergi untuk menunaikan sahalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha bertakbir ..? Jika mesti bertakbir apakah dengan suara keras atau dengan suara pelan ?
Beliau menjawab :
Bertakbir pada saat pergi untuk menunaikan shalat ‘Ied terdapat dalam atsar-atsar shahih yang mauquf dan maqthu’ , tetapi tidak benar jika dikatakan ada hadits marfu’ yang berkaitan dengan masalah ini.
Al-Faryabi mengeluarkan riwayat dalam Ahkam Al-’Idain No. 53, bahwa Ibnu Umar mengeraskan suara takbirnya pada hari ‘Iedul Fitri ketika pergi menuju Mushala , sampai hadirnya Imam untuk melaksanakan shalat ‘Ied. . Atsar ini ada yang meriwayatkannya secara marfu’ , tetapi riwayat itu riwayat mungkar.
Dalam riwayat Hakim I/298 dan lainnya, disebutkan bahwa : Ibnu Umar pada dua hari raya keluar dari Masjid , kemudian beliau bertakbir hingga tiba di Mushala . Sanadnya hasan.
Syu’bah juga pernah bertanya kepada Al-Hakam dan Hammad : Apakah saya bertakbir ketika saya keluar menuju shalat ‘Ied ? Keduanya menjawab : Ya .
Kemudian dalam riwayat Al-Baihaqi III/279, melalui jalan Tamim bin Salamah, ia Berkata : Ibnu Zubair keluar pada hari raya Kurban, ia tidak melihat orang-orang bertakbir, maka ia berkata : Mengapa mereka tidak bertakbir ? Ketahuilah, demi Allah apabila mereka mengumandangkan takbir, tentu engkau akan melihat kami dalam pasukan yang tidak dapat dilihat ujungnya, yaitu seseorang bertakbir, lalu disusul orang berikutnya hingga berguncanglah pasukan itu karena gema takbir. Memang ternyata perbedaan antara kalian dengan mereka adalah ibarat bumi yang rendah dengan langit yang tinggi. .
Sementara itu Abu Hanifah -dalam salah satu riwayat yang berasal darinya- berpendapat bahwa mengumandangkan takbir secara keras hanya ada pada hari Raya Kurban, tidak pada hari Raya Fitri, ketika pagi-pagi berangkat menuju mushala. Ia berdalil berdasarkan atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah No. 5629, melalui jalan Syu’bah maula Ibnu Abbas.
Dalam atsar itu diceritakan bahwa Syu’bah berkata :
Saya menuntun Ibnu Abbas pada suatu hari raya, ia mendengar orang-orang mengumandangkan takbir, maka ia bertanya : Orang-orang itu sedang ada apa ? Saya menjawab : Mereka bertakbir . Ia bertanya ; Apakah imam sedang bertakbir ? Saya menjawab : Tidak! Ia berkata : Apakah orang-orang sudah gila ? nya ada pada Abu Dzi’b, seorang muridnya, yang ada dalam sanad dimana ia meriwayatkan atsar tersebut melalui berbagai sisi, dan periwayatannyapun mudtharib .
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Artinya : Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya , dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk-Nya .
Sebagian pengikut madzahb Hanafi menjawab bahwa yang dimaksud dengan takbir dalam ayat itu adalah takbir dalam shalat, atau yang dimaksud adalah mengagungkan Allah, berdasarkan firman Allah dalam ayat lain :
Artinya : Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya .
Tetapi pembatasan makna seperti itu pada ayat di atas tidak benar, sebab makna ayat tersebut lebih umum dari sekedar takbir dalam shalat atau sekedar mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Thahawi, beliau adalah juga seorang pengikut madzhab Hanafi -justru menguatkan pernyataan bahwa kedua hari ‘Ied itu adalah satu. Pembedaan antara kedua hari raya tersebut tidak ada dalilnya. Itulah pedapat kebanyakan Ulama, dan itu pulalah apa yang dilakukan oleh para Salaf .
Catatan Penting :
Wanita juga ikut bertakbir apabila aman dari fitnah, tetapi tidak perlu sekeras suara kaum laki-laki. Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah.
Catatan Redaksi :
Berdasarkan atsar-atsar di atas, maka terbukti ada tuntunan untuk takbir dengan suara keras menjelang shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.
Wallahu a’lam.
Sumber Hukum Shalat ‘Ied Wajib Atau Sunnah: http://www.salaf.web.id
Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani berkaitan dengan hukum Shalat ‘Ied dan Takbir pada hari ‘Ied. Kami angkat dari Silsilah al-Fatawa Asy-Syar’iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.
Syaikh Abu al-Hasan as-Sulaimani adalah seorang ‘alim dari Mesir yang kini tinggal di Ma’rib Yaman, murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i yang ahli dalam bidang hadits. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Artikel ini ocha ambil dari berbagai blog dari teman sahabat, buat sahabat ocha makasih yah sudah luangkan waktu untuk membaca Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap. Mudah mudahan bisa bermanfaat untuk para sahabat, dan yang ingin gabung dengan ocha di facebook bisa langsung Klik LIKE di kolom bawah ini.
Description : Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap
Rating : 9 of 10
Reviewer : Unknown
ItemReviewed : Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap
Rating : 9 of 10
Reviewer : Unknown
ItemReviewed : Tata Cara dan Ketentuan Shalat 'Idul Fitri Dan Bacaan Niat juga Bacaan Shalat Idul Fitri Lengkap
0 komentar:
Post a Comment